CARING AND SHARING

Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Surrendering to the Will of God is Beautiful

Tuesday, September 13, 2011

Membangun Karakter Bangsa (Orasi Ilmiah)

Transkrip Orasi Ilmiah

Refleksi Budaya dan Retorika
dalam Membangun Karakter Bangsa

Disampaikan pada Upacara Wisuda Sarjana
Universitas Muhammadiyah Gresik
Oktober 2011

oleh
Dr. Amrin Batubara, S.Pd., M.Pd.

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati:
- Ketua dan Seluruh Anggota Senat Universitas Muhammadiyah Gresik;
- Ketua Badan Pelaksana Harian UMG;
- PD Muhammadiyah Kabupaten Gresik;
- Koordinator Kopertis Wilayah VII, atau yang mewakili;
- Pejabat Sipil, TNI, dan POLRI;
- Para Dosen, Karyawan, dan Pimpinan Lembaga Kemahasiswaan di UMG;
- Para orangtua Wisudawan dan para Wisudawan UMG, serta;
- Hadirin yang berbahagia.

Sebagai insan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah sepantasnya kita bersama-sama mengucapkan Syukur Alhamdulillah kehadirat Illahi Robbi, karena dengan perkenan-Nya kita semua dapat hadir dalam keadaan sehat wal afiat pada acara Wisuda Sarjana Universitas Muhammadiyah Gresik hari ini.
Saya atas nama pribadi, mengucapkan SELAMAT kepada para wisudawan/wisudawati atas keberhasilan anda dalam menyelesaikan studi di Universitas Muhammadiyah Gresik, dan kepada keluarga wisudawan/wisudawati, saya juga ingin mengucapkan selamat berbahagia atas keberhasilan putra‐putri anda, dan saya juga turut merasakan berbahagia itu pada hari ini.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan selamat kepada segenap civitas akademika Universitas Muhammadiyah Gresik yang telah sukses meluluskan sarjana-sarjana baru, dan pada hari ini mempersembahkan alumninya ke haribaan bangsa Indonesia yang sedang berjuang untuk membangun masa depan yang jauh lebih baik. Semoga Universitas Muhammadiyah Gresik dapat terus meningkatkan kualitas perannya dalam mengemban amanah Tri Dharma Perguruan Tinggi; mencetak manusia-manusia Indonesia yang berilmu, berintegritas tinggi, dan berwawasan luas; melakukan penelitian yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas kesejahteraannya.

Pada hari yang berbahagia ini, saya juga ingin mengajak para wisudawan/wisudawati untuk menyadari bahwa anda adalah putra‐putri Indonesia yang beruntung. Sebab anda termasuk sebagian kecil dari pemuda‐pemudi Indonesia yang telah mengecap pendidikan tinggi. Keberuntungan tersebut patut disyukuri. Salah satu cara untuk menyatakan rasa syukur tersebut adalah dengan memakai sebaiknya‐sebaiknya wawasan, pengetahuan dan keahlian yang anda sudah pelajari di almamater anda ini untuk melakukan hal‐hal yang membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi anda dan keluarga anda, dan bagi masyarakat luas.

Selanjutnya, saya akan mengajak para wisudawan/wisudawati dan hadirin untuk merenungkan perkembangan kehidupan manusia dalam kebudayaan dan Retorika. Sesudah itu kita akan mencoba merefleksikan perkembangan budaya dan Retorika tersebut serta pengaruhnya terhadap suasana kehidupan manusia di dunia sekarang ini dan tantangan-tantangan yang ditimbulkannya bagi masyarakat Indonesia dan bagaimana sebaiknya kita menanggapi tantangan tersebut untuk merestorasi dan membangun karakter bangsa Indonesia.

Manusia dan Kebudayaan

‘Hadirin yang berbahagia!’
Salah satu aspek yang membedakan kehidupan manusia dengan makhluk lainnya adalah kebudayaan. Ummat manusia hidup dalam budaya yang unik dan khas yang mencerminkan ciri-ciri setiap kelompok masyarakat yang hidup di dalam suatu wilayah. Misalnya, di samping kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati dan nabati, Indonesia dikenal dengan keberagaman budayanya. Di Indonesia terdapat puluhan etnis yang memiliki budaya masing-masing. Misalnya, di Pulau Sumatra: Terdapat Aceh, Batak, Minang, Melayu (Deli, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan sebagainya), Lampung; di Pulau Jawa dan Bali: Terdapat Sunda, Badui (masyarakat tradisional yang mengisolasi diri dari dunia luar di Provinsi Banten), Jawa, Madura dan Bali; di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur: Terdapat Sasak, Mangarai, Sumbawa, Flores; dan di Kalimantan: Terdapat Dayak, Melayu, Banjar dsb.

Para pakar mengemukakan berbagai definisi tentang kebudayaan sebagai berikut. Menurut Koentjaraningrat (2003:1-5) kebudayaan dapat dipahami sebagai totalitas dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan oleh karena itu, kebudayaan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Menurut pemahaman ini kebudayaan terdiri dari tujuh unsur, yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Definisi kebudayaan ini mencakup lingkup yang sangat luas. Dalam definisi ini, sistem pengetahuan dan teknologi adalah bagian kebudayaan. Disamping itu kita dapat menyaksikan bahwa ada tiga wujud kebudayaan itu, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide‐ide, gagasan, nilai‐nilai, norma‐norma, dan peraturan‐peraturan; wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan wujud kebudayaan sebagai benda‐benda hasil karya manusia. Sementara itu Hopstede (2005:7) mendefinisiskan kebudayaan itu sebagai motif, tata‐nilai, kepercayaan bersama, dan makna atau interpretasi dari suatu peristiwa yang merupakan hasil dari pengalaman bersama dari anggota suatu kelompok yang dialihkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dalam pemahaman ini tata nilai ditempatkan sebagai inti dari budaya.

Dalam definisi-definisi tersebut diatas, nilai‐nilai selalu dipandang sebagai bagian penting dari kebudayaan. Nilai-nilai ini menjadi acuan bertingkah laku dalam suatu masyarakat. Berkaitan dengan sistem nilai ini, kita menemukan berbagai klasifikasi yang dikemukakan berbagai ahli kebudayaan. Menurut Edward Spranger dalam Alisjahbana dkk. (1991:6-8) nilai‐nilai dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetik, nilai kuasa, nilai solidaritas, dan nilai agama.

Masyarakat yang mengembangkan nilai teori yang kuat dalam suatu wilayah dengan memperhatikan usaha-usaha yang sangat besar terhadap upaya menemukan kebenaran obyektif melalui rasionalitas dan sikap kritis akan banyak melakukan usaha untuk mensistematikkan pengetahuan. Kemudian masyarakat yang banyak memperhatikan nilai ekonomik akan dapat memetik kegunaan dari hal‐hal yang ditemukan dalam lingkungannya. Salah satu tujuan yang dianggap sangat penting dalam kehidupan adalah mengakumulasikan kekayaan materi. Sementara nilai seni atau estetik dapat disaksikan melalui besarnya perhatian dan penghargaan suatu masyarakat terhadap keindahan‐keindahan bentuk, keindahan bunyi, keindahan warna, keindahan gerakan. Masyarakat dengan nilai solidaritas atau nilai sosial yang tinggi memandang rasa sayang atau mengasihi sesama adalah sesuatu yang sangat penting dibandingkan dengan sifat‐sifat yang lain. Mengasihi sesama ini ditunjukkan oleh sikap tidak mementingkan diri dan bersimpati terhadap orang lain, dan masyarakat dengan nilai kuasa atau politik yang tinggi sangat menghargai kekuasaan dan berusaha mempengaruhi atau mengatur orang atau kelompok lain, dan dalam masyarakat dengan nilai agama yang tinggi kita dapat menyaksikan bahwa perhatian yang sangat banyak diberikan pada upaya untuk memahami hal-hal yang gaib dan kemisteriusan alam semesta ini.

Dari keenam nilai tersebut di atas kita dapat menyimak bahwa agar bisa maju suatu masyarakat perlu penguasaan yang kuat terhadap nilai teori dan ekonomi. Dengan kata lain, anggota masyarakatnya haruslah punya rasa ingin tahu dan memiliki tingkat rasionalitas yang tinggi, serta punya kecenderungan kuat untuk memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya guna menciptakan produk atau metode yang menciptakan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sutan Takdir Alisyahbana (1991: 6-9) mengklasifikasikan masyakat dengan nilai teori dan nilai ekonomi yang kuat sebagai kebudayaan progresif, dan kebudayaan yang sangat menghargai perasaan, intuisi, dan imajinasi sebagai masyarakat ekspresif.

Budaya dapat juga dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya.

Berdasarkan pemahaman di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah kebudayaannya yang tercermin dalam sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Salah satu usaha untuk mengembangkan kebudayaan tersebut adalah pendidikan yang merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi budaya peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.

‘Hadirin yang berbahagia!’
Unsur kebudayaan yang membuat manusia benar‐benar berbeda dari makhluk‐makhluk lain adalah konsep ‘kebajikan’ (virtues). Menurut Patterson dan Seligman (2004:13, 29-30), kebajikan adalah karakteristik utama yang sangat dihargai oleh para filosof moral dan pemikir‐pemikir besar agama. Menurut hasil penelitiannya tentang agama‐agama dan kebudayaan yang sangat berpengaruh di muka bumi ini, ada enam dimensi kebajikan yang bersifat universal.

Dimensi kebajikan yang pertama adalah transendensi (transcendence). Dimensi ini mengacu pada kekuatan untuk melihat hubungan dengan alam dan merasakan maknanya. Unsur kebudayaan ini membedakan manusia dari makhluk yang lain karena manusia memiliki nilai kebajikan yang mencakup rasa syukur, rasa terima kasih, apresiasi terhadap keindahan dan keistimewaan, harapan, dan spiritualitas.

Dimensi kebajikan yang kedua adalah kemanusiaan (humanity). Dimensi ini mengacu pada kekuatan interpersonal yang mencakup ketulusan merawat, membantu, sikap bersahabat dan menjaga orang lain. Dimensi kebajikan yang merepresentasikan nilai kemanusiaan ini mencakup kasih sayang, keperdulian, kedermawanan, dan sifat tak mementingkan diri sendiri.

Dimensi kebajikan yang ketiga adalah kearifan dan pengetahuan (wisdom and knowledge). Dimensi ini mengacu pada kekuatan kognitif yang berkaitan dengan penambahan dan penggunaan pengetahuan. Unsur kebudayaan ini mencerminkan perbedaan manusia dari makhluk yang lain karena dimensi kebajikan ini merepresentasikan keunggulan manusia yang mencakup diantaranya kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan, semangat belajar, dan perspektif.

Dimensi kebajikan yang keempat adalah keadilan (justice). Dimensi ini mengacu pada sifat baik warga masyarakat yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat yang sehat. Nilai keadilan yang selalu didambakan ummat manusia ini mencakup rasa tanggung jawab sosial dan kepemimpinan.

Dimensi kebajikan yang kelima adalah keberanian (courage). Dimensi ini mengacu pada kekuatan emosional yang mecakup kemauan yang kuat untuk mencapai suatu tujuan, di tengah‐tengah tentangan yang dihadapi, baik dari dalam maupun dari luar. Dimensi kebajikan keberanian ini mencakup kegigihan, integritas dalam arti kejujuran dan ketulusan, semangat dan antusiasme.

Dimensi kebajikan yang terakhir yang membedakan ummat manusia berbeda dari makluk lainnya adalah pembatasan diri (temperance). Dimensi ini mengacu pada sifat baik yang menghindarkan seseorang dari sikap atau perbuatan yang melewati batas. Hal ini mencakup keihlasan untuk memaafkan kesalahan orang lain, kerendahan hati, kehati‐hatian, dan pengendalian diri.

Apabila kebajikan-kebajikan tersebut diatas dijalankan dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh sehingga menjadi budaya dan kebiasaan dalam kehidupan keseharian setiap individu suatu bangsa, maka kebajikan-kebajikan tersebut akan menjadi karakter dari setiap individu dari bangsa tersebut yang dapat menjadi landasan dan sarana untuk menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat luas dan menghindarkan kemungkinan perkembangan kebudayaan bangsa yang membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.

‘Hadirin yang berbahagia!’
Ciri khas dari masyarakat yang hidup di kota‐kota besar dalam era globalisasi ini diantaranya adalah, secara tidak langsung mereka bergaul dengan orang‐orang dari seluruh dunia, dan salah satu jembatan untuk pergaulan dunia ini adalah layar televisi, disamping internet bagi mereka yang terlatih memakainya. Aliran informasi yang beragam melalui layar televisi dan internet tersebut sangat sarat muatan nilai‐nilai budaya yang berasal dari bagian dunia yang lain, dan sebagian dari nilai‐nilai itu mungkin sekali asing bagi orang‐orang yang menerimanya, dan bahkan kadang‐kadang dirasakan bertentangan, sehingga dunia yang tanpa batas secara tidak disadari telah menimbulkan tarikan keberbagai arah dalam hal tata nilai budaya.
Pada sisi lain, dunia yang makin tanpa batas ini telah menyebabkan kita memasuki pergaulan yang makin pluralistik. Lulusan perguruan tinggi akan makin sering bertemu, atau berurusan dan bahkan bekerja dengan mitra yang berasal dari latar belakang budaya atau etnis atau kebangsaan yang berbeda. Mereka akan lebih sering menemukan perbedaan‐perbedaan yang muncul dari berbagai latar belakang pendidikan maupun berbagai latar belakang sosio‐kultural. Disamping itu, kesempatan kerja dan peluang bisnis yang potensial atau yang sudah ada akan diperebutkan oleh makin banyak orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Mereka yang memperebutkannya bukan hanya tenaga kerja dalam negeri, namun juga oleh tenaga kerja dari luar negeri. Produk dan jasa yang dihasilkan di negara‐negara dengan sistem produksi yang lebih efisien juga akan mengalir ke negara-negara yang sistemnya kurang efisien. Yang jelas, dalam persaingan yang sangat terbuka tersebut, sangat diperlukan kemampuan untuk memenuhi tuntutan standar mutu yang bersifat global dan karakter yang kuat.

Disamping itu, kemajuan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi juga telah menyebabkan interaksi antar budaya yang makin intensif. Dalam interaksi ini akan terjadi proses saling mempengaruhi. Budaya yang kuat dan dikomunikasikan secara efektif akan menembus dan melarutkan budaya lain yang kurang kuat dan tidak terkomunikasikan dengan baik. Dalam era dunia tanpa batas ini ada risiko suatu kelompok akan terseret budaya lain dan kehilangan identitas budayanya sehingga melemahkan karakter kelompok tersebut.

Kebudayaan dan Retorika

‘Hadirin yang saya hormati!’
Marilah sejenak kita merefleksikan kaitan budaya dan Retorika dalam kehidupan sosial manusia. Budaya atau kebudayaan atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris mencakup ruang lingkup yang luas dan didefinisikan beragam oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu sosial sehingga sulit menemukan suatu definisi yang berterima untuk semua kalangan. Disamping definisi-definisi kebudayaan yang telah saya paparkan diatas, menurut Duranti (1997: 252-255), kebudayaan dapat dilihat sebagai agregat pengetahuan, modus komunikasi, atau sistem partisipasi sosial. Dijelaskan bahwa budaya itu mencakup beberapa komponen dan salah satu komponen yang terpenting adalah bahasa. Dalam hal ini, bahasa sebagai bagian terpenting dari budaya dan dipandang sebagai alat sosial, modus berpikir, dan praktek budaya itu sendiri. Disamping itu, hubungan antara budaya dan bahasa adalah bersifat dinamis dan saling mempengaruhi. Bahasa sebagai alat untuk mengkomunikasikan unsur-unsur budaya yang lain senantiasa berinteraksi secara dinamis dan terus menerus dengan budaya yang melingkupinya. Menurt Safir-Wolf (1921: 8-10), bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal yang berarti bahasa itu menentukan modus budaya. Selanjutnya Hudson (1980:25) juga menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan tercermin dalam tingkah laku kebahasaan, dan tingkah laku kebahasaan ini sering disebut sebagai tingkah laku retoris. Dalam hal ini Retorika dipahami sebagai penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, dan secara fundamental Retorika itu dapat dianggap sebagai perwujudan bahasa dalam kaedah-kaedah komunikasi budaya manusia yang memungkinkan kita saling mentransfer gagasan. Disamping itu kemampuan dan keberhasilan berkomunikasi melalui fitur-fitur Retorika sangat terkait erat dengan kebudayaan suatu masyarakat atau suatu bangsa.

Kurangnya kesadaran akan wujud Retorika yang disepakati secara tacit dapat menyebabkan gangguan berkomunikasi. Gangguan ini dapat berupa kegagalan komunikasi. Kegagalan komunikasi ini dapat disebabkan penggunaan Retorika yang keliru atau salah terap. Kemungkinan salah terap terjadi karena dalam komunikasi, khususnya di era globalisasi ini, lazim ditemui berbagai model Retorika yang berkembang dimasyarakat. Ketidaktahuan bagaimana menggunakan Retorika yang tepat kepada khalayak yang tepat dapat mengarah ke konflik Retorika. Konflik Retorika berarti kegagalan komunikasi dan kegagalan dalam berkomunikasi tentu dapat menimbulkan komplek sosial yang serius. Untuk memahami kegagalan komunikasi yang bersumber dari konflik Retorika tersebut marilah sejenak kita merefleksikan hakekat dari Retorika dalam kehidupan sehari-hari.

Secara etimologis Retorika berasal dari bahasa Yunani ‘rethorike’. ‘Rhetor’ berarti pembicara, sedangkan ‘ike’ berarti seni; dengan demikian secara harfiah Retorika dapat diartikan sebagai seni berbicara (Brook dan Warren, 1970:6). Retorika tidak lepas dari ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles yang berkaitan dengan masalah yang bersifat teknis, sehingga Retorika lebih dikenal sebagai ilmu pidato dan seni penggunaan bahasa secara efektif. Menurut Plato, Retorika itu mengacu pada suatu kemampuan menggunakan bahasa dengan sempurna dan merupakan alat atau cara yang baik bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan mendalam; sementara Aristoteles memandang Retorika sebagai suatu kemampuan memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu secara efektif untuk mempersuasi orang lain dengan ketiga modus persuasi, yakni: pathos, ethos dan logos.

Berkaitan dengan pengertian Retorika yang dikemukakan baik Plato maupun Aristoteles, ada beberapa anggapan tetang hakekat dan relevansi Retorika. Anggapan yang pertama menyatakan bahwa Retorika hanyalah semata-mata kemampuan serta kepandaian menggunakan bahasa yang indah yang dapat mempersona orang lain; dan anggapan yang kedua memahami bahwa Retorika berkaitan dengan kepandaian menggunakan bahasa yang indah, yakni: hanyalah kegiatan yang lebih berkaitan dengan penampilan (appearance) daripada kenyataan (reality); dan anggapan yang ketiga, Retorika menyangkut gaya bahasa atau gaya penyajian saja, dalam hal ini Retorika dipandang hanya sebagai keterampilan menggunakan gaya bahasa untuk menyampaikan maksud; sementara anggapan yang keempat, Retorika dipahami hanya sebagai sebutan terhadap semua bentuk komunikasi.

Menurut Golden dkk. (1993:13), Retorika adalah studi tentang bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk membuat pilihan secara bebas. Jadi Retorika mempelajari tetang cara berbicara yang indah dan efektif untuk membangkitkan simpati dan mendapatkan kerelaan dari para pendengar. Hal ini senada dengan definisi Retorika yang disajikan Encyclopedia Britanica (1956: 314), yakni: ‘Rethoric is the art of using language in such a way as to produce a desired impression upon the hearers or readers’.

Menurut Guin and Marder (1995:7-12), Retorika adalah induk dari Stilistika (Stylistics) yang berkaitan dengan pilihan unsur bahasa dan gaya dalam komunikasi; Pragmatika (Pragmatics) yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam konteks tertentu; Analisis Wacana (Discourse Analysis) berkaitan dengan analisis unsur bahasa dalam suatu wacana; dan Pragmastilistika (Pragmastylistics) yang mengacu pada pilihan unsur bahasa dan gaya bahasa serta penggunaanya dalam konteks tertentu dan mengungkap makna yang tersembunyi dalam unsur komunikasi dan makna yang tersimpan dibalik cara mengungkapkan ide atau gagasan dalam berkomunikasi. Dengan kata lain, sepanjang sejarah Retorika telah berkembang dan menjelma menjadi cabang-cabang disiplin ilmu linguistik yang berfokus pada kesuksesan berkomunikasi.
Sebagaimana tesis yang disampaikan oleh Sapir-Whorf di atas bahwa bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal, dan dikaitkan dengan pemahaman budaya yang disampaikan oleh Duranty (1997: 1) yang menyatakan bahwa budaya adalah agregat pengetahuan, modus komunikasi, atau suatu sistem partisipasi sosial, dan bahasa dianggap sebagai suatu bagian yang terpenting dari kebudayaan, yakni sebagai modus berpikir, alat sosial dan praktek budaya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa (berwujud Retorika dalam penggunaannya) saling terkait dengan budaya dan hubungan diatara keduanya bersifat dinamis dan saling mempengaruhi (hubungan dialektis). Dengan demikian Retorika dapat mempengaruhi cara berpikir dan praktek budaya dan oleh karenanya sangat berperan di dalam membentuk dan membangun karakter suatu bangsa.

Karakter Bangsa

‘Hadirin yang berbahagia!’
Selanjutnya marilah kita merefleksikan hakekat karakter. Secara etimologis karakter berasal dari bahasa Yunani ‘kasairo’ yang berarti cetak biru, atau format dasar, atau sidik seperti yang digunakan dalam frase sidik jari. Dalam hal ini karakter adalah sesuatu yang dianugrahkan. Menurut Mounier (1956:113), karakter dapat dipahami sebagai dua hal. Pertama, karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan atau dianugrahkan kepada diri kita; karakter yang demikian itu dianggap sebagai suatu kodrat. Dalam pemahaman kedua, karakter dianggap sebagai tingkat kekuatan yang dimiliki yang membuat seseorang mampu menguasai kondisi tertentu. Karakter seperti ini dianggap sebagai suatu proses yang dikehendaki. Dengan demikian kita dapat menyaksikan apakah seseorang itu terdominasi oleh kondisi-kondisi yang dianugrahkan atau ia menjadi tuan atas kondisi alami yang telah ia terima; dan selanjutnya kita hanya dapat melihat apakah seseorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Orang yang memiliki karakter lemah adalah mereka yang tunduk pada kondisi yang dihadapinya tanpa dapat menguasainya, sementara orang yang berkarakter kuat tidak mau dikuasai oleh realitas begitu saja. Menurut Kusuma (2007:28), orang yang berkarakter adalah orang yang merancang dan membangun masa depannya sendiri, dan ia tidak mau dikuasai kondisi kodratnya yang menghambat pertumbuhannya; ia senantiasa menguasai dan mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.

Disamping itu, karakter dapat juga dipahami sebagai paduan segala tabiat yang bersifat tetap atau watak dan menjadi ciri khusus yang membedakan seseorang dengan orang lain. Karakter itu timbul sebagai akibat proses ajar, dan oleh karenanya sering disebut sebagai pendidikan karakter. Ki Hajar Dewantara (1877:408) menyatakan bahwa karakter itu adalah perimbangan yang tetap antara hidup batiniah dengan segala macam perbuatannya. Oleh karena itu karakter itu menjadi sendi di dalam kehidupan yang selalu mewujudkan perangai seseorang.

Selanjutnya, karakter dari sudut pandang psikologis dan etis, dapat dicermati dari tingkah laku ketika seseorang berinteraksi. Secara psikologis karakter dapat diartikan sebagai sifat-sifat yang nampak dan seolah-olah mewakili pribadi seseorang; sementara ditinjau dari sudut etika, karakter dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang baik dan menunjukkan sifat-sifat yang selalu dapat dipercaya, sehingga orang yang berkarakter itu menunjukkan pendirian yang teguh, dan memiliki sifat baik, terpuji dan dapat dipercaya. Dengan kata lain, berkarakter berarti memiliki prinsip dalam menegakkan moral dan perbuatannya atau tingkah lakunya dapat dipertanggungjawabkan.

Dari pemahaman karakter diatas dapatlah dijelaskan bahwa karakter bangsa itu mengacu pada ciri khas dan sikap suatu bangsa yang tercermin pada tingkah laku dan pribadi setiap warga suatu bangsa. Karakter tersebut dapat mencakup sifat-sifat yang dianugerahkan maupun sesuatu yang diusahakan oleh suatu bangsa. Oleh karena itu, karakter suatu bangsa sangat tergantung pada kemauan atau usaha sungguh-sungguh dari pemerintah atau suatu negara. Hal ini disebabkan, karakter bangsa selain sifat-sifat yang dianugrahkan juga merupakan jati diri yang dibangun sesuai dengan visi dan ideologi yang dimiliki suatu negara. Sejarah telah mencatat bahwa para pendiri bangsa ini telah meletakkan pondasi dan dasar-dasar negara yang menjadi karakter bangsa yang penting untuk dikembangkan dan ditransformasikan agar menjadi milik seluruh rakyat Indonesia. Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga Negara Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia dan menjadi suatu kepribadian diri warga Negara Indonesia.

Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa karakter bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas, baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen terhadap NKRI.
Dalam hal ini, karakter bangsa yang sangat fundamental dan perlu dibangun secara terus menerus agar tidak luntur dipengaruhi oleh derasnya pengaruh budaya luar diantaranya adalah kebangsaan yang telah dimiliki sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda 1928. Sumpah ini menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Disamping itu Indonesia adalah suatu negara yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan Pancasila dan UUD-45. Hal ini berarti bahwa warga negara Indonesaia menyatakan dirinya hidup dalam suatu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bangsa Indonesia berdiam di dalam satu kesatuan kewilayahan, yaitu satu kesatuan nusantara Indonesia yang mencakup wilayah darat, laut, udara dan kekayaan alamnya. Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini melakukan proses menjadi bangsa Indonesia dimulai dari para elite dengan proses sukarela. Masing-masing menyatakan dirinya lalu mencari unsur-unsur yang bisa dipakai sebagai pangkal tolak bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam prinsip tersebut menjadi harapan para pendiri bangsa ini untuk dijadikan sebagai karakter bangsa Indonesia.

Krisis Karakter Bangsa

‘Hadirin yang berbahagia!’
Persoalan budaya, Retorika dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai kemerosotan berbagai aspek kebudayaan dan tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di baik media cetak maupun elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat sosial, dan pengamat pendidikan juga berbicara mengenai persoalan degradasi budaya di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan politik yang tidak produktif, kehidupan ekonomi yang konsumtif, dan tata krama serta kesantunan berkomunikasi yang menyimpang sebagai jelmaan konflik kemerosotan budaya bangsa menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian telah banyak dikemukakan dan diajukan, seperti: memberlakukan berbagai peraturan dan undang-undangan, serta peningkatan upaya penerapan hukum yang lebih kuat.

Namun, krisis yang dialami bangsa Indonesia ini, tidak hanya krisis sosial budaya atau ekonomi maupun politik, tapi lebih dari itu, bangsa kita tengah menghadapi krisis karakter. Berbagai peristiwa atau kejadian yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan melalui TV maupun media massa lainnya menunjukkan betapa bangsa kita tengah mengalami degradasi karakter. Seiring perjalanan waktu moral bangsa terasa semakin amburadul, huru-hara dan kesewenangan terjadi di mana-mana, tata krama pun hilang, nyawa seperti tak ada harganya, korupsi menjadi-jadi bahkan telah dilakukan terang-terangan dan berjamaah. Berbagai bentuk kerusuhan yang diikuti penjarahan, dan pembunuhan terjadi di berbagai daerah. Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep Bhineka Tunggal Ika sudah mulai luntur dari jiwa-jiwa generasi penerus bangsa ini. Fenomena ini bisa terjadi disebabkan masyarakat Indonesia sedang mengalami Crisis Nation Character.

Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga terbentuk budaya atau kebiasaan. Budaya inilah yang telah menginternal dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa. Krisis karakter ini bisa mengulangi dan bahkan memperparah degradasi moral bangsa ini. Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Indonesia dijajah bangsa lain lebih dari 3 abad, dampak dari penjajahan itu boleh jadi telah membentuk dan masih terus mewarnai budaya bangsa dan menjelma menjadi kemerosotan karakter tersendiri bagi masyarakat Indonesia, yaitu karakter masyarakat terjajah. Karakter yang merupakan warisan penjajah dan dijadikan budaya bagi masyarakat Indonesia sebagaimana Mochtar Lubis mengemukakan ciri manusia Indonesia yang antara lain: munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya tahayul, artistik, berwatak lemah (cengeng), tidak hemat, kurang gigih, serta tidak terbiasa bekerja keras. Kita tidak dapat sepenuhnya membenarkan pernyataan itu, karena sejarah juga mencatat pengorbanan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan yang menunjukan tingkat nasionalisme yang tinggi yang dimiliki masyarakat Indonesia waktu itu. Namun jujur kita mengakui bahwa ciri yang di kemukakan diatas jelas merupakan gejala atau kecenderungan umum yang sedang berkembang ditengah masyarakat Indonesia saat ini dan cenderung membentuk karakter yang permanen, seperti yang telah saya paparkan di atas bahwa karakter bangsa Indonesia ditentukan oleh ciri manusia Indonesia itu sendiri.

Terlepas dari itu semua apakah mentalitas bangsa merupakan warisan penjajah feodal atau justru merupakan kegagalan pendidikan Indonesia dalam membentuk karakternya, pendidikan seharusnya menjadi media pencerahan atau perbaikan sekaligus pembentukan karakter masyarakat Indonesia sesungguhnya. Pertanyaan yang muncul adalah, apa yang telah dilakukan sistem pendidikan kita selama ini? Mencermati pertanyaan ini, dalam konteks memahami fenomena tersebut diatas, menjadi menarik apa yang disarankan UNESCO bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur, yakni: belajar untuk tahu (learn to know); belajar untuk berbuat (learn to do); dan belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah kepada being menuju pembentukan karakter bangsa. Dewasa ini, unsur itu menjadi amat penting untuk membangkitkan rasa nasionalisme yang kuat; menanamkan etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitifitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini, sudah semestinya dimulai sejak pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.

Ditengah‐tengah kecenderungan global seperti yang telah disampaikan di atas, Indonesia sebagai sebuah negara menghadapi beberapa masalah spesifik yang terjadi sebagai implikasi dari kebijakan dan proses pembangunan yang dilakukan di masa lalu. Diantara masalah tersebut adalah tingkat pendidikan yang relatif rendah, sumberdaya alam yang makin berkurang, makin menonjolnya sikap ke‐kami‐an, dan korupsi.

‘Hadirin yang saya hormati!’
Seperti kita ketahui bersama, sejak awal tahun 1970‐an di Indonesia berkembang suatu praktek baru, yaitu praktek korupsi. Praktek ini, yang pada awalnya dimulai di kalangan mereka yang memegang jabatan dalam birokrasi, dengan cepat berkembang menjadi kebiasaan baru. Kebiasaan ini menyebar luas dari atas ke bawah, ke seluruh wilayah negara. Saking meluasnya korupsi, Bung Hatta, salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI, pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Nampaknya yang beliau maksud adalah bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan yang diterima sebagai suatu hal yang wajar. Praktek korupsi telah mengakibatkan sumberdaya yang dimiliki negara telah mengalir kepada sekelompok orang yang tidak pantas mendapatkannya; dan justru sebagian besar rakyat yang berhak menikmatinya terabaikan. Hal ini adalah salah satu bentuk ketidak‐adilan. Praktek korupsi telah melemahkan daya saing ekonomi, daya saing negara dan bahkan merusak kredibilitas bangsa. Meluasnya praktek korupsi sampai sekarang ini telah menyebabkan Indonesia tergolong sebagai salah satu negara yang praktek korupsinya paling tinggi. Memang, beberapa tahun terakhir ini upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah ditingkatkan, namun beberapa hasil minim yang dicapai sampai saat ini, serta kenyataan yang kusut dan carut-marut seperti lingkaran setan di lapangan, memperingatkan kita semua bahwa kebiasaan korupsi akarnya sangatlah dalam dan tidak mudah mencabutnya. Bahkan praktek kecurangan tersebut telah berbenah diri dengan membentuk suatu kelompok yang dinamakan mafia. Kita menyaksikan berjamurnya mafia di bumi Indonesia ini, yang diantaranya: mafia hukum, mafia pemilu, mafia anggaran, dan banyak lagi mafia-mafia yang lain yang terus menggerogoti keadilan dan kemakmuran bangsa ini.

Merestorasi dan Membangun Karakter Bangsa

‘Hadirin yang berbahagia!’
Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembangunan karakter bangsa dilakukan secara koheren melalui proses sosialisasi, pendidikan dan pembelajaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama seluruh komponen bangsa dan negara.

Dalam rangka merestorasi dan membangun karakter bangsa ini, kita perlu memahami faktor faktor utama yang menyebabkan bangsa kita menghadapi permasalahan sekarang ini. Menurut pendapat saya, salah satu penyebab utamanya adalah surutnya atau lunturnya patriotisme. Patriotisme tidak hanya diperlukan dalam perjuangan fisik merebut kemerdekaan, namun diperlukan juga dalam upaya pembangunan kebudayaan, serta merestorasi dan membangun karakter bangsa Indonesia yang kuat. Kepatriotan anak bangsa ini mulai luntur ketika para pembuat kebijakan dan pemegang kekuasaan di negeri tercinta ini berpegang pada keyakinan bahwa uang atau dana adalah faktor yang paling menentukan dalam membangun kesejahteraan bangsa. Hal ini adalah konsekuensi logis dari pembangunan yang didasarkan pada doktrin ekonomi sebagai panglima yang dianggap sebagai koreksi terhadap doktrin sebelumnya yang mempanglimakan politik. Akibatnya keberhasilan atau kemajuan tidak bisa diukur dengan indikator-indikator nilai budaya dan karakter bangsa yang abstrak, sehingga membuat sebagian besar dari masyarakat kita terperangkap dalam pragmatisme yang ‘overdoses’, dan kemudian terjebak dalam sikap atau perilaku menghalalkan segala cara.

Idealisme dianggap tidak penting. Bangsa kita tergiring menuju suatu era dimana banyak orang percaya bahwa orang jujur dan berkarakter kuat tidak bisa maju dan sukses dalam kehidupan moderen ini. Yang jelas, pragmatisme yang berlebihan ini menjadi sumber dari berkembangnya korupsi dan tidak berkembangnya semangat untuk kerja keras atau dengan kata lain tidak berkembangnya bangsa Indonesia yang karakter kuat serta melemahnya partriotisme anak bangsa ini.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan patriotisme adalah niat yang diwujudkan dalam tindakan yang didasari integritas untuk berkontribusi secara ikhlas demi kemaslahatan masyarakat luas. Dari sini kiranya menjadi jelas bahwa lunturnya patriotisme di masyarakat ditunjukkan oleh meningkatnya kemunafikan, surutnya ketulusan, meningkatnya kecenderungan mengambil dari pada memberi dan bahkan mengambil yang bukan haknya, meningkatnya kecenderungan mengutamakan kepentingan diri atau kelompok yang sempit di atas kepentingan masyarakat luas atau di atas kepentingan bangsa.

‘Hadirin yang berbahagia!’
Patriotisme sesungguhnya bukanlah barang baru di Indonesia. Ini telah ditunjukkan oleh para leluhur pejuang kemerdekaan yang bahkan berani mempertaruhkan nyawanya. Sekarang ini patriotisme tidak hilang dari bumi Indonesia, namun hanya sedang surut dan melemah. Kita masih dapat menyaksikan dan merasakan bahwa jiwa kejuangan tersebut masih menyala, walaupun di lingkungan yang sangat luas mungkin memudar. Jadi tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan generasi muda Indonesia khususnya dalam menyongsong masa depan adalah melakukan revitalisasi atau membangkitkan kembali jiwa kejuangan dan karakter bangsa Indonesia yang kuat di semua sektor kehidupan.

Patriotisme yang diperlukan sekarang adalah patriotisme yang membuat bangsa Indonesia lebih maju, lebih sejahtera, lebih berkeadilan dan mampu menjadi salah satu bangsa yang berkarakter dan terpandang di tengah tengah bangsa lain di dunia. Isi dari patriotisme tersebut terutama diantaranya: Yang pertama adalah kejujuran. Jelaslah bahwa ditengah‐tengah masyarakat yang masih dibelit penyakit korupsi, hidup jujur memerlukan keberanian dan komitmen yang kuat. Yang kedua adalah optimisme. Untuk menghadapi kesulitan dan tantangan kita membutuhkan sikap ’sulit, tetapi bisa’, bukan sikap ’bisa tetapi sulit’. Yang ketiga adalah semangat belajar. Hal ini mengacu pada sikap terbuka terhadap kemungkinan baru, kreatif, menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Yang ke empat adalah kerja keras. Setiap individu hendaknya berusaha melakukan yang terbaik, disiplin‐diri. Yang kelima adalah semangat berkontribusi. Hal ini dimaksudkan agar setiap individu bangsa ini seharusnya berusaha memberi, dan pantang menadahkan tangan. Yang terakhir adalah tanggung jawab sosial. Hal ini dimaksudkan agar individu-individu setiap komponen bangsa ini melakukan sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Maju bersama dalam kebhinekaan dan membangun cita‐cita bersama, serta menjadikan kebhinekaan sebagai sumber kekuatan dan salah satu ciri karakter bangsa Indonesia.

Membangkitkan kembali semangat patriotisme pada dasarnya adalah memunculkan potensi kebajikan yang saya sampaikan di atas pada semua putra‐putri Indonesia. Dengan kebajikan-kebajikan yang merupakan esensi kebudayaan tersebut kita dapat memunculkan kemuliaan manusia. Sebab itu patriotisme yang kita tumbuhkan adalah patriotisme yang humanis, dengan kata lain kita membangkitkan kembali semangat patriotisme agar kita, bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia, bisa berkontribusi bagi kemajuan kemanusiaan. Orang‐orang yang menghayati semangat patriotisme dalam kehidupan sehari‐hari adalah orang‐orang biasa, mereka bukan malaikat. Sebab, orang biasa seperti kita pernah dan bisa jujur, pernah dan bisa optimis, pernah dan bisa belajar dan bekerja keras, pernah dan bisa berkontribusi untuk masyarakat di sekitar kita, pernah serta bisa maju bersama orang‐orang lain yang latar belakang pendidikan atau lingkungan budayanya berbeda dari diri kita sendiri dan inilah diantara ciri-ciri karakter bangsa Indonesia yang kuat itu.

‘Hadirin yang berbahagia!’
Dewasa ini, menumbuhkan dan mengembangkan semangat patriotisme yang diharapkan sebagai karakter kuat setiap individu bangsa ini, tidak bisa dilakukan hanya dengan memasukkan seseorang dalam program indoktrinasi, atau penataran. Semangat patriotisme yang sehat dan karakter yang kuat dapat tumbuh secara alami, bersemi dari kesadaran, dari kepekaan, dari keyakinan dan rasa tanggung jawab sosial; dan semangat patriotisme sebagai salah satu ciri karakter kuat bisa berupa suatu himpunan kebajikan yang tumbuh dan berkembang karena terjadinya proses belajar. Dalam proses belajar ini, lingkungan pendidikan memegang peran penting. Lingkungan pendidikan yang menguatkan karakter, yang menumbuhkan kesadaran dan pemahaman sejarah, dan yang menumbuhkan kesadaran serta pemahaman budaya dan praktek Retorika yang ramah dan santun akan mempermudah tumbuhnya semangat patriotisme dan karakter yang kuat.

Berbagai lingkungan pendidikan, seperti lingkungan pendidikan di rumah, di sekolah, pergaulan dengan teman sejawat, buku, media, sangat mempengaruhi wawasan dan sikap seseorang. Semangat patriotisme akan lebih mudah berkembang dalam lingkungan pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter. Kita patut bersyukur bahwa setelah berkali‐kali dihimbau oleh berbagai pihak, akhirnya, sejak akhir tahun 2009 pemerintah Indonesia mencanangkan kebijakan pendidikan bukan hanya berbasis kompetensi namun juga berlandaskan kebijakan yang berorientasi pengembangan karakter dan kebudayaan. Memang tidak mudah meyakinkan pembuatan kebijakan bahwa masalah besar yang dihadapi bangsa ini, seperti korupsi, mafia pengadilan, mafia perpajakan, dan mafia-mafia yang lain bersumber dari lemah atau buruknya karakter, bukan pada kurangnya kompetensi. Ini tidak berati bahwa kompetensi tidak penting. Kompetensi itu penting, namun kompetensi yang dimiliki seseorang hanya akan membawa manfaat bagi masyarakat apabila disertai dengan karakter yang baik dan kuat. Orang yang memilki kompetensi tinggi namun dengan karakter buruk dan lemah cenderung akan menjadi sumber masalah bagi masyarakat.

Pendidikan karakter bukanlah barang baru di Indonesia. Para pendiri bangsa ini telah menyiapkan bangsa Indonesia untuk berjuang mencapai kemerdekaan melalui pendidikan karakter. Mereka membangun kepercayaan diri rakyat Indonesia, membangun optimisme, keberanian, kerelaan berkorban, dan semangat ke‐kita‐an. Bahkan sesudah kemerdekaan, dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1957 Bung Karno menekankan pentingnya nation building dan character building bagi Indonesia. Negara tetangga kita di Asia, RRC, setelah terpuruk oleh Revolusi Kebudayaan, membangun kembali kejayaannya pada akhir abad ke 20, dengan meningkatkan kualitas rakyatnya melalui pendidikan karakter. Di belahan bumi yang lain, lebih dari dua ribu tahun yang lalu Cicero, seorang filosof dan negarawan Yunani menyatakan bahwa ’kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh karakter warga negaranya’.

Mencermati berbagai definisi diatas, karakter dapatlah kita maknai sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan itu sendiri mencakup sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi setiap individu bangsa ini dengan orang lain yang dilandasi pemahaman karakter tersebut di atas dapat menumbuhkan karakter masyarakat atau karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan otak, hati, dan fisik.

‘Hadirin yang berbahagia!’
Dengan merefleksikan budaya dan praktek Retorika dalam usaha membangun karakter bangsa yang saya paparkan dalam orasi ilmiah ini, diharapkan para wisudawan dan lulusan perguruan tinggi lainnya, sebagai agen pencerah dan pembaharuan budaya bangsa yang akan menyebar di seluruh penjuru tanah air tercinta ini, memahami dan menghayati serta mampu menerapkan nilai-nilai luhur yang tercermin dalam ciri-ciri atau indikator karakter yang kuat, yakni:

Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai religius dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai kejujuran dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini berarti selalu berperilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai toleransi dalam perilaku kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

Menghayati dan mampu menerapkan kedisiplinan dalam perbuatan atau tindakan-tindakan sehari-harinya. Hal ini berarti selalu bertindak dan berbuat sesuatu dengan menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Menghayati dan menggemari kerja keras dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada perilaku yang selalu menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar atau tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Menghayati dan mampu menerapkan nilai kreatifitas dalam kehidupan kesehariannya, yakni: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

Menghayati dan mampu menerapkan nilai kemandirian dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

Menguasai, menghayati dan mampu menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan kesehariannya, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Memiliki rasa keingintahuan dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

Menghayati dan mampu menerapkan semangat kebangsaan dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini berarti selalu menunjukkan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Memiliki rasa cinta tanah air dalam kehidupan kesehariannya, yakni: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Menghargai suatu prestasi dalam usaha-usaha kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
Menghayati dan menerapkan nilai persahabatan dalam kehidupan kesehariannya, yakni: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

Menghayati dan mencintai kedamaian dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Memiliki kegemaran membaca dalam kehidupan kesehariannya, yakni: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

Memiliki keperdulian terhadap lingkungan dalam kehidupan kesehariannya, yakni: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Memiliki keperdulian sosial dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

Memiliki rasa tanggung-jawab dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini mengacu pada sikap dan perilaku yang konsisten dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian dapatlah kita rangkum bahwa dalam era globalisasi sekarang ini, yang melintas bebas dari satu negara ke negara lain tidak saja produk, jasa, dan dana, namun juga budaya bangsa‐bangsa. Dengan memiliki kesadaran dan pemahaman budaya bangsa dan penguasaan praktek Retorika yang baik, suatu bangsa akan mampu melakukan dialog kebudayaan bangsanya dengan budaya yang datang dari luar. Dengan kemampuan praktek retorika yang prima dalam berbagai dialog, masyarakat akan dapat memilah dan memilih unsur budaya luar yang dapat memperkaya budaya sendiri. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya sendiri, masyarakat akan terhindar dari kemungkinan menerima begitu saja budaya lain tanpa proses seleksi, atau menolaknya secara apriori. Dengan kesadaran dan pemahaman budaya Indonesia, semangat patriotisme akan dapat mengantar Indonesia menjadi Indonesia yang maju, adil dan sejahtera dan tetap berkarakter Indonesia.

Saya sepakat dengan Lawrence E. Harrison yang menyatakan bahwa ’underdevelopment is a state of mind’. Sebab itu apabila kita mau keluar dari ketertinggalan kita dan kemerosotan moral anak bangsa yang sangat menghawatirkan ini, maka pertama‐tama yang perlu kita benahi adalah mentalitas kita atau our state of mind. Membangkitkan kembali semangat patriotisme dapat kita gelorakan sebagai bagian dari usaha pembenahan mentalitas tersebut. Membangkitkan kembali semangat patriotisme adalah tanggapan budaya terhadap perkembangan pengetahuan manusia serta makin intensifnya proses interaksi budaya antar bangsa sekarang ini.

Membenahi mentalitas memang bukan segala‐galanya. Namun ini adalah penggerak mula atau penghela dari perubahan lain yang perlu dilakukan. Membangkitkan semangat patriotisme sekarang ini agak berbeda dengan membangkitkan semangat patriotisme dalam merebut kemerdekaan. Sekarang patriotisme perlu diarahkan untuk merestorasi dan membangun terus karakter bangsa yang kuat melalui diantaranya mengalahkan diri kita sendiri, yakni mengalahkan kemunafikan, mengalahkan kebodohan, mengalahkan pesimisme, mengalahkan kemalasan, mengalahkan ketidak‐pedulian, mengalahkan keserakahan, dan mengalahkan kesombongan yang ada pada diri kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Membangkitkan kembali semangat patriotisme perlu menjadi ikhtiar kita bersama, karena pada dasarnya semua orang dalam lubuk hatinya yang paling dalam ingin hidupnya berarti, bermakna, membawa rahmat bagi masyarakat luas. Itu semua adalah bisikan hati untuk mewujudkan semangat patriotisme dan dengan demikian bangsa kita akan menjadi bangsa yang memiliki akhlak yang mulia dan karakter yang kuat.

Demikian orasi ilmiah yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan ada manfaat dan mohon maaf atas segala kekurangan.


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh



Daftar Pustaka

Aristotle, (in Jebb, R.C. 1909). The Art of Rhetoric. Cambridge: Cambridge University Press.
Brook, C., & Warren, R.P. (1970). Modren Rethoric. New York: Harcourt, Bruce & World.
Duranti, A. (1997). Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Guin and Marder (1986). A Spectrum of Rhetoric. Tronto:Little Brown Company.
Hofstede, G. and Gert Jan, G.F. (2005). Culture and Organization: Software of Mind. New York: McGraw Hill.
Hudson, R.A. (1980). Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kuntjaraningrat (2003). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Kusuma, D.A. (2007). Pendidikan Karakter. Jakarta: Gramedia Widisarana Indonesia.
Mourner, E. (1956). The Character of Man. New York: Hamper and Brothers.
Peterson, Ch., and Seligman, M.E.P. (2004). Character Strengths and Virtues: A handbook of Classification. Oxford: Oxford University Press.
Robert J. House et.al, (2004). Culture, Leadership and Organization. New York: Sage Publication.
Sapir, E. (1921). Language: An Introduction to the Study of Speech. London: Harcourt Brace Jovanovich.
Soekarno (1965). Satu Tahun Ketentuan , Dibawah Bendera Revolusi , Jilid Kedua,
Cetakan Kedua. Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi.
Sutan Takdir Alisjahbana dkk. (1991). Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni. Bandung: Penerbit ITB.

No comments:

Post a Comment