CARING AND SHARING

Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Surrendering to the Will of God is Beautiful

Sunday, April 3, 2011

KONSTRUKTIVISME

Makalah

PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN

Dr. Amrin Batubara, S.Pd., M.Pd.

Disampaikan pada Acara Kuliah Umum Tanggal 17 Desember 2011
di IAIN Sunan Ampel Surabaya

PENDAHULUAN

Pendekatan konstruktivisme telah berkembang dan besar pengaruhnya dalam dunia pendidikan sejak periode 1930-an dan 1940-an. Pendekatan konstruktivisme sesungguhnya berawal dari munculnya satu aliran filsafat ilmu pengetahuan pada tahun 1710. Menurut Von Glaserfeld (1989), konstruktivisme digagas oleh seorang epistemolog Italia yang bernama Gianmbatissta Vico. Dalam filsafatnya, Vico menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Tuhan sebagai pencipta alam semesta tahu bagaimana membuatnya dan dari apa membuatnya. Dari pemahaman tersebut muncul gagasan yang menyatakan bahwa mengetahui itu identik dengan mengetahui cara membuat sesuatu. Dalam hal ini, seseorang baru dapat dikatakan mengetahui sesuatu apabila ia dapat menjelaskan semua komponen yang membentuk sesuatu itu. Dengan kata lain, menurut konstruktivisme, pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang dibentuk dari pengalaman atau dunia yang dialaminya. Jadi pengetahuan itu selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang, dan proses pembentukan pengetahuan berjalan terus menerus dan setiap kali ada pengalaman dan pemahaman baru maka akan terjadi reorganisasi dan rekonstruksi pengetahuan itu. Hal ini berarti, untuk mengetahui sesuatu seseorang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman yang telah direfleksikan dan diabstraksikan menjadi konsep-konsep baru yang disesuaikan dengan konstruksi yang telah dimiliki sebelumnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengetahuan ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui, sehingga pengetahuan itu tidak bisa begitu saja dipindahkan dari otak yang mengetahui ke otak orang lain.

Seiring dengan perkembangan teori-teori belajar dan model-model pembelajaran modern, paham konstruktivisme semakin banyak dikaji dan dijadikan landasan untuk mengelola kegiatan pembelajaran. Namun, berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa pelaksanaan pembelajaran di kampus-kampus dewasa ini masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi dan belum berorientasi pada mahasiswa. Hal ini tampak dari cara dosen mengajar dan cara mahasiswa belajar di kelas. Banyak kasus yang ditemukan bahwa dosen masih tetap menggunakan cara lama, yakni menggunakan metode ceramah-ekspositori. Dalam hal ini, dosen bersifat dominan dan mahasiswa bersifat resisten, dosen masih menjadi pemain dan mahasiswa penonton, dosen aktif dan mahasiswa pasif. Paradigma lama, yaitu dosen mengajar, masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan mahasiswa. Dengan munculnya istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, yang mengandung makna dosen sebagai sutradara dan mahasiswa menjadi pemain, semestinya dosen merancang dan memfasilitasi aktivitas mahasiswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri. Demikian pula, pada pihak mahasiswa, karena kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa nyaman dengan kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain karena kebiasaan yang sudah melekat dan mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini mungkin juga dikarenakan pengetahuan dosen yang masih terbatas tentang bagaimana mahasiswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan mahasiswa.

Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa masih terdapat civitas akademika di kampus-kampus yang belum begitu familiar dengan pendekatan konstruktivisme dalam pendidikan serta kurang menyadari akan pentingnya konstruktivisme dalam mengelola proses pembelajaran. Oleh karena itu, permasalahan yang dielaborasi dalam makalah ini akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah konstruktivisme itu? (2) Seperti apakah pembelajaran yang konstruktif? (3) Bagaimanakah konstrutivisme berpengaruh dalam proses pembelajaran? (4) Model pembelajaran yang manakah yang berlandaskan pada konstruktivisme? (5) Bagaimanakah interaksi yang ideal antara dosen dengan mahasiswa menurut konstruktivisme?

Dengan demikian, setelah mengikuti kuliah dan membaca makalah ini dengan seksama, para peserta kuliah umum diharapkan mampu: (1) menjelaskan definisi konstruktivisme, (2) menjelaskan kemunculan dan posisi filsafat konstruktivisme, (3) menjelaskan perspektif konstruktivisme dalam komponen pembelajaran, (4) menjelaskan dan menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran, (5) menjelaskan peran mahasiswa dan dosen dalam pembelajaran konstruktivisme, dan (6) membandingkan situasi kelas pembelajaran konstruktivisme dengan pembelajaran tradisional.

Guna menyamakan persepsi dan mensinergiskan antara pemaparan dan pemahaman, perlu kiranya menjelaskan konsep-konsep utama yang menjadi fokus dalam makalah ini, yakni: pendidikan, belajar dan pembelajaran. Pendidikan dapat didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya. Sementara belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Selanjutnya pembelajaran dapat dijelaskan sebagai membekali peserta didik untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena ia telah memiliki kompetensi kecakapan hidup. Kemudian dapat dikatakan bahwa usaha untuk mewujudkan perubahan tingkah laku akan terjadi jika mempelajari sesuatu yang belum pernah diketahui sebelumnya, kemudian mengetahui, paham, dan mampu menerapkannya. Perubahan tingkah laku ini yang akan menentukan masa depan setiap orang yang belajar.

Secara operasional dapat dijelaskan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar lainnya pada suatu lingkungan belajar yang berakibat perubahan-perubahan dalam diri peserta didik. Perubahan tersebut bisa berupa perubahan perilaku yang merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan. Perubahan itu bisa juga berupa perubahan dalam pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki sebagai kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya.

PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME

Apa sebenarnya konstruktivisme itu? Menurut Glaserfeld dalam Mathews (1994), konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah hasil konstruksi orang tersebut. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang. Hal ini berarti bahwa pengetahuan bukanlah suatu imitasi dari kenyataan dan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Menurut Piaget (2972), pengetahuan itu adalah ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman, dan proses pembentukan pengetahuan itu berjalan terus sepanjang hayat dan setiap kali ada pengalaman yang baru akan terjadi reorganisasi atau rekonstruksi pengetahuan tersebut.

Menurut konstruktivisme, pengetahuan ada dalam benak orang yang sedang mengetahui, dan pengetahuan adalah hasil interaksi inderawi seseorang dengan objek dan lingkungannya. Ini berarti pengetahuan adalah pengalaman seseorang akan dunia atau lingkungan, tetapi bukan dunia itu sendiri. Lingkungan disini mengacu pada hal-hal baik yang ada diluar maupun di dalam diri seseorang. Pengalaman dalam lingkungan inilah yang diabstraksikan menjadi konsep dan akhirnya dikonstruksi menjadi struktur pengetahuan yang disebut sebagai skema. Proses pembentukan skema itu berlangsung secara terus menerus beriringan dengan terjadinya refleksi pengalaman baru. Dengan demikian pengetahuan bukanlah hal yang statis dan deterministik, melainkan suatu proses untuk menjadi tahu. Hal ini sesuai dengan pemahaman dalam konstruktivisme bahwa semua pengetahuan yang diperoleh seseorang adalah hasil konstruksi orang tersebut, dan setiap orang membangun pengetahuannya sendiri, sehingga sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain (von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989).

Lebih lanjut von Glasersfeld dalam Bettencourt (1989) menjelaskan bahwa agar bisa mengkonstruksi pengetahuan, seseorang harus: (1) mampu mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Hal ini diperlukan karena pengetahuan itu dibentuk berdasarkan interaksi individu dengan pengalaman-pengalaman tersebut; (2) mampu membandingkan dan mengambil keputusan mengenai perbedaan dan persamaan suatu hal.

Dari uraian di atas dapat disarikan bahwa menurut konstruktivisme: (1) pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan seseorang (mind as inner individual representation of outer reality), (2) seseorang mengkonstruksi skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang berbeda, dan abstraksi serta refleksi seseorang menjadi sangat berpengaruh dalam konstruksi pengetahuan (reflection/abstraction as primary), (3) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsep masing-masing individu. Struktur konsep dapat membentuk pengetahuan bila konsep baru yang diterima dapat dikaitkan/dihubungkan dengan pengalaman yang dimiliki. Dengan demikian, pengetahuan adalah apa yang ada dalam pikiran setiap orang (knowledge as residing in the mind), dan (4) dalam proses pembentukan pengetahuan, kebermaknaan merupakan interpretasi seseorang terhadap pengalaman yang dialaminya (meaning as internally constructed).

KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN

Model pembelajaran dapat dijelaskan sebagai suatu pengorganisasian atau penciptaan atau pengaturan suatu kondisi lingkungan yang sebaik-baiknya yang memungkinkan terjadinya kegiatan belajar. Dalam hal ini model pembelajaran berupa suatu rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu. Di dalam pola tersebut terdapat karakteristik berupa tahapan kegiatan guru-siswa atau dalam kegiatan pembelajaran dikenal dengan istilah sintaks. Dengan demikian dapat dijelaskan beberapa karakteristik model pembelajaran, diantaranya: (1) adanya sintaks (urutan kegiatan pembelajaran), (2) terdapat sistem sosial (peran guru dalam pembelajaran), (3) adanya prinsip reaksi (upaya guru dalam membimbing dan merespon siswa), (4) terdapat sistem pendukung (faktor-faktor yang harus diperhatikan, dan dimiliki guru dalam menggunakan model), serta dampak pembelajaran (langsung dan iringan).

Model pembelajaran mempunyai makna yang berbeda dari pada pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran, yakni: (1) rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik, (2) tujuan pembelajaran yang akan dicapai, (3) langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal, dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.

Sementara pendekatan mengajar mengacu pada cara pandang yang digunakan guru terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Pendekatan pembelajaran dapat digunakan untuk menetapkan strategi dan langkah-langkah pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap pendekatan yang diterapkan akan melibatkan kemampuan subjek belajar dan guru dengan kadarnya masing-masing. Dijelaskan bahwa ada dua kategori pendekatan pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centered) dan berpusat pada siswa (student centered). Disamping itu terdapat juga beberapa pendekatan mengajar seperti: pendekatan konsep, pendekatan lingkungan, pendekatan proses sains, pendekatan STS (Science-Technology-Society), dan pendekatan kontekstual.

Strategi dapat dijelaskan sebagai pendekatan dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan mengorganisasikan materi pelajaran dan pembelajar, peralatan dan bahan, serta waku untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan secara efektif dan efisien. Strategi ini dapat berupa: “direct instruction, discussion, group work, cooperative learning, problem solving, student research, performance activities (misalnya cara menggunakan mikroskop).”

Sedangkan metode dalam konteks pendidikan dapat dijelaskan sebagai kumpulan prinsip yang terkoordinir untuk melaksanakan pengajaran, sedangkan dalam konteks pengajaran, metode diartikan sebagai cara-cara menyajikan suatu bahan pelajaran pada situasi tertentu. Metode mengajar diantaranya adalah metode ceramah, demonstrasi, diskusi, dan eksperimen. Sementara itu teknik mengajar dapat dijelaskan sebagai hal-hal yang spesifik yang dilakukan guru dalam mengelola pembelajaran. Misalnya, dalam metode diskusi dapat digunakan teknik snow ball, siswa berdiskusi dalam kelompok kecil kemudian setelah mendapat kesamaan persepsi terhadap materi yang didiskusikan dalam kelompok kecil tersebut, diskusi dilakukan antar kelompok yang lebih besar, sampai akhirnya diperoleh kesamaan persepsi dalam satu kelas.

Paradigma pembelajaran konstruktivisme mengisyaratkan bahwa dosen menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) mahasiswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, meng-generalisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara dosen-mahasiswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi. Hal ini akan membuat suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani) sehingga dalam belajar mahasiswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Mahasiswa membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan oleh dosen; mahasiswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang telah dikemas oleh dosen, melainkan mahasiswa sendiri yang mengkonstruksinya. Dalam hal konstruksinya tidak akurat, atau konstruksi mahasiswa yang satu dengan mahasiswa lainnya berbeda, atau mungkin terjadi keksalahan, di sinilah tugas dosen memberikan bantuan dan arahan (scaffolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Kesalahan mahasiswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal tersebut merupakan ciri ia sedang belajar, ikut berpartisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas pembelajaran.

Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas mahasiswa yang bersifat proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksivisme dapat terlaksana secara optimal, menurut Confrey (1990), prinsip-prinsip konstruksivisme harus dilaksanakan secara utuh (powerful constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refleksi-eksplanasi, kontinuitas historikal, simbolisasi, koherensi, tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks.

Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa menurut konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif seseorang dalam mengkonstruksi arti, wacana, dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya berkembang. Dapat dijelaskan bahwa proses aktif tersebut bercirikan: (1) belajar berarti membentuk makna dan konstruksi makna dan dipengaruhi oleh pengertian/makna yang telah dimiliki, (2) konstruksi arti merupakan proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena baru, seseorang akan mengadakan rekonstruksi, (3) belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), (4) proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam kesenjangan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar, (5) hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dengan dunia fisik dan lingkungan (Bettencourt, 1989), dan (6) hasil belajar tergantung pada apa yang telah diketahui berupa konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. 

KONSTRUKTIVISME DALAM STRATEGI PEMBELAJARAN

Pendekatan konstruktivisme telah sering digunakan sebagai landasan bagi banyak strategi pembelajaran, terutama strategi yang dikenal sebagai belajar yang berorientasi pada mahasiswa (student oriented learning). Strategi konstruktivisme ini bersumber pada premis dasar yang mengutamakan keaktifan mahasiswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan berdasarkan interaksinya dengan pengalaman belajar yang diperoleh atau difasilitasi dosen. Beberapa contoh strategi pembelajaran konstruktivisme diantaranya: (1) belajar aktif, (2) belajar mandiri, (3) belajar kooperatif dan kolaboratif, dan (4) model pembelajaran kognitif, seperti “problem based learning and cognitive strategies”.

Dalam strategi konstruktivisme, tugas dosen adalah membantu mahasiswa agar mampu membentuk pengetahuannya sesuai dengan situasi yang konkret. Dalam hal ini, dosen dituntut untuk memiliki penguasaan bahan yang luas dan mendalam disamping memiliki beragam strategi pembelajaran sehingga dapat disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan mahasiswa. Hal ini sesuai dengan gagasan yang menyatakan bahwa tidak ada satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan dimana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun. Pembelajaran itu adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, tetapi juga intuisi dan sikap dosen. Ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme menurut Driver dalam Matthews (1994) diantaranya adalah: (1) mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik, (2) mahasiswa dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain, (3) mahasiswa diberi kesempatan untuk merestrukturisasi idenya, mengkontraskan idenya dengan ide-ide yang lain, membangun idenya sendiri, dan mengevaluasi ide barunya dengan bereksperimen, (4) mahasiswa diberi kesempatan untuk menggunakan idenya dalam banyak situasi, dan (5) mahasiswa diberi kesempatan untuk merevisi gagasannya, apakah melalui penambahan suatu keterangan, ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konstruktivisme adalah cara mengevaluasi hasil belajar mahasiswa. Kebenaran bukanlah hal yang dicari, namun berhasilnya suatu operasi (viable) adalah hal yang dinilai. Dijelaskan bahwa proses evaluasi dalam pembelajaran konstruktivisme sama sekali tidak bergantung pada bentuk assessment yang menggunakan “paper and pencil test” atau bentuk tes objektif lainnya. Bentuk-bentuk tugas yang digunakan diantaranya adalah portofolio, observasi proses, dinamika kelompok, simulasi dan permainan, serta studi kasus.

Konstruktivisme menjelaskan juga bahwa dosen bukanlah seseorang yang mahatahu, dan mahasiswa juga bukanlah orang yang belum tahu dan karena itu perlu diberi tahu. Dalam proses pembelajaran konstruktivisme, mahasiswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan dosen membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. Dosen dan mahasiswa bersama-sama membangun pengetahuan dalam banyak hal. Dengan demikian hubungan dosen dan mahasiswa lebih merupakan mitra atau rekan yang bersama-sama membangun pengetahuan.

PENGARUH KONSTRUKTIVISME TERHADAP MAHASISWA DAN DOSEN

Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan aktif mahasiswa untuk menemukan sesuatu dan membangun sendiri pengetahuannya, bukan merupakan proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Dengan demikian mahasiswalah yang membuat penalaran atas apa yang sedang dipelajari dengan cara mencari makna dan membandingkan makna baru yang ditemui dengan pengetahuan yang telah terkonstruksi dalam skemanya, mengakomodasi makna yang bersesuaian dan selanjutnya menyelesaikan ketidaksamaan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang diperlukan dalam pengalaman yang baru. Belajar yang bermakna terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik, dialog, penelitian, menguji hipotesis, pengambilan keputusan. Dapat dijelaskan bahwa belajar merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda dan proses pemikiran tersebut terus dilakukan dan diperbaharui sehingga menjadi lebih lengkap.

Dijelaskan bahwa setiap mahasiswa mempunyai gaya atau cara yang cocok untuk dirinya, sehingga perlu adanya kesempatan bagi setiap mahasiswa untuk mencoba bermacam-macam cara belajar untuk menemukan gaya yang cocok dengan dirinya dan dosen perlu menciptakan bermacam-macam situasi dan metode yang dapat membantu mahasiswa.

Untuk mendapatkan pemahaman yang memadai tetang posisi konstruktivisme dalam pembelajaran, berikut ini akan dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan perspektif konstruktivisme dalam komponen-komponen pembelajaran.

Belajar dalam kelompok sangat dianjurkan dalam proses pembelajaran yang konstruktif. Mahasiswa dapat mengkonstruksi pengertian dan pengetahuan dengan mudah bila ia terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam pengalaman. Hal ini sesuai dengan pendapat von Glasersfeld (1989) yang menjelaskan bahwa dalam kelompok belajar, mahasiswa dapat mengungkapkan perspektifnya dalam melihat persoalan dan hal yang akan dilakukan dengan persoalan itu. Kesempatan mengungkapkan gagasan, mendengarkan pendapat orang lain, serta bersama-sama membangun pengertian dalam suatu kelompok belajar menjadi sangat penting dalam proses pembelajaran karena memiliki unsur yang berguna menantang pemikiran dan meningkatkan harga diri mahasiswa.

Selanjutnya dijelaskan bahwa menurut prinsip-prinsip konstruktivisme, dalam proses pembelajaran dosen berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar mahasiswa dapat berjalan dengan baik. Peran tersebut direalisasikan dengan: (1) menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan mahasiswa bertanggung jawab, sehingga memberi kuliah dengan berceramah sangat tidak dianjurkan dalam pendekatan konstruktivisme, (2) sebagaimana yang disampaikan Watts dan Pope (1989), merancang dan menyediakan kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang rasa keingintahuan mahasiswa, dan membantu mereka untuk mengekpresikan gagasan serta mengkomunikasikan ide-ide ilmiahnya; disamping itu dosen juga perlu menyediakan sarana yang merangsang mahasiswa berpikir secara produktif, dan menyediakan pengalaman yang paling mendukung proses belajar mahasiswa. Hal ini juga senada dengan gagasan yang dikemukakan Tobin, Tippin dan Galland (1994) bahwa dosen perlu menyemangati mahasiswa dan menyediakan pengalaman konflik dalam proses pembelajaran, dan (3) memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran mahasiswa berjalan atau tidak. Di sini, dosen menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan mahasiswa relevan dan dapat diberlakukan untuk menyelesaikan persoalan baru yang dihadapi. Selanjutnya, dosen membantu untuk mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan mahasiswa.

Dalam rangka optimalisasi fungsi dari faktor-faktor di atas, dosen perlu banyak berinteraksi dengan mahasiswa untuk lebih mengerti hal-hal yang sudah diketahui dan dipikirkan mahasiswa. Hal ini dapat dilakukan dengan membicarakan bersama tujuan dan apa yang akan dilakukan di kelas, sehingga mahasiswa benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran. Disamping itu, dosen perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran mahasiswa, perlu mengerti pengalaman belajar yang lebih sesuai dengan mahasiswa, dan selalu menumbuhkan kepercayaan mahasiswa bahwa mereka dapat belajar.

Menurut von Glasersfeld (1989), dosen perlu mengerti bahwa apa pun yang dikatakan mahasiswa dalam menjawab suatu pertanyaan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu, oleh karena itu perlu ditanggapi secara serius. Dijelaskan bahwa dosen perlu mengerti cara berpikir mahasiswa sehingga dapat membantu memodifikasinya. Yang jelas, dosen konstruktivis perlu menciptakan suasana yang membuat mahsiswa antusias terhadap persoalan yang ada, sehingga mereka mau memecahkan persoalannya, dan dosen perlu membiarkan mahasiswa menemukan cara yang paling menyenangkan dalam pemecahan persoalan; dosen tidak pernah membenarkan ajarannya dengan menyatakan bahwa itu satu-satunya yang benar.

Secara ringkas, menurut Brooks & Brooks (1993), dosen yang konstruktivis akan: (1) membebaskan mahasiswa dari ikatan beban kurikulum dan memperbolehkan mahasiswa untuk berfokus pada ide-ide yang menyeluruh, (2) memberikan wewenang kepada mahasiswa untuk mengikuti minatnya, mencari keterkaitan, mereformasi ide, dan mencapai kesimpulan yang unik, (3) berbagi informasi dengan mahasiswa tetang kompleksitas kehidupan yang di dalamnya terdapat berbagai perspektif, dan kebenaran merupakan interpretasi orang per orang, dan (4) mengakui bahwa belajar dan proses penilaian terhadap belajar merupakan hal yang tidak mudah untuk dikelola karena banyak hal yang tidak kasat mata, tetapi lebih merupakan rasionalitas individu. 

PERBANDINGAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DAN TRADISIONAL

Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pembelajaran konstruktivisme, berikut ini dipaparkan perbedaan situasi pembelajaran dalam kelas berdasarkan konstruktivisme dan tradisional sebagaimana disarikan Brooks & Brooks (1993). Pertama, dalam pembelajaran konstruktivisme, ruang lingkup pembelajaran disajikan secara utuh dengan penjelasan tentang keterkaitan antar bagian, dengan penekanan pada konsep-konsep utama, sementara dalam pembelajaran tradisional, pembelajaran disajikan secara terpisah, bagian per bagian, dengan penekanan pada pencapaian keterampilan dasar.

Kedua, dalam pembelajaran konstruktivisme, pertanyaan mahasiswa dan konstruksi jawaban mahasiswa adalah penting, sementara dalam pembelajaran tradisional, kurikulum harus diikuti sampai habis.

Ketiga, dalam pembelajaran konstruktivisme, kegiatan pembelajaran berlandaskan beragam sumber informasi primer dan materi yang dapat dimanipulasi langsung oleh mahasiswa, sementara dalam pembelajaran tradisional, kegiatan pembelajaran hanya berdasarkan buku teks yang sudah ditentukan.

Keempat, dalam pembelajaran konstruktivisme, mahasiswa dilihat sebagai pemikir yang mampu menghasilkan teori-teori tentang dunia dan kehidupan, sementara dalam pembelajaran tradisional, mahasiswa dilihat sebagai ember kosong tempat ditumpahkannya semua pengetahuan dari dosen.

Kelima, dalam pembelajaran konstruktivisme, dosen bersikap interaktif dalam pembelajaran, menjadi fasilitator dan mediator lingkungan bagi mahasiswa dalam proses belajar, sementara dalam pembelajaran tradisional, dosen mengajar dan menyebarkan informasi keilmuan kepada mahasiswa.

Keenam, dalam pembelajaran konstruktivisme, dosen mencoba mengerti persepsi mahasiswa agar dapat melihat pola pikir mahasiswa dan apa yang sudah diperoleh mahasiswa untuk pembelajaran berikutnya, sementara dalam pembelajaran tradisional, dosen selalu mencari jawaban yang benar untuk validasi proses belajar mahasiswa.

Ketujuh, dalam pembelajaran konstruktivisme, penilaian terhadap proses belajar mahasiswa merupakan bagian integral dalam pembelajaran, dilakukan melalui observasi dosen terhadap hasil kerja mahasiswa, melalui pameran karya-karya mahasiswa, dan portofolio, sementara dalam pembelajaran tradisional, penilaian terhadap proses belajar mahasiswa merupakan bagian terpisah dari pembelajaran, dan dilakukan hampir selalu dalam bentuk tes atau ujian.

Terakhir, dalam pembelajaran konstruktivisme, mahasiswa lebih banyak belajar dalam kelompok, sementara dalam pembelajaran tradisional, mahasiswa harus selalu belajar dan bekerja sendiri.

Demikian paparan singkat tentang perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan kuliah umum hari ini, dan saya tidak menyajikan kesimpulan, namun saya berharap para peserta kuliah dapat menyarikan sendiri tema pokok pemaparan materi dalam makalah ini, sehingga tujuan khusus perkuliahan ini tercapai, semoga bermanfaat dan kurang lebihnya saya mohon maaf. 


DAFTAR PUSTAKA

Bettencourt, A. (1989). What is Constructivism and Why are They all Talking about it? Michigan: Michigan State University Press.

Brookfield, S. (1984). Edult Learners, Edult Education and the Community. New York: Teacher College Press.

Brooks, J.G. & Brooks, M.G. (1993). In Search of Understanding the Case for Constructivist Classrooms. Elexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.

Bybee, R. (2001). Constructivism and The Five E’s. [Online] Tersedia pada: ttp://www.miamisci
.org/ph/lpintro5e.html

Fosnot, C.T. (1996). Constructivism: Theory, Perspectives, and Practice. New York: Teacher College.

Gagne, R.M. (1974). The Condition of Learning Theory of Instruction. New York:Rinehart and Winston.

Gagne, R.M. (1974). Essensial of Learning for Instruction. New York: Dreyden Press.

Matthews, M. (1994). Science Teaching. New York: Routledge.

Piaget, J. (1971). Phsychology and Epistemology. New York: The Viking Press.

Von G’lasersfeld, E. (1989). Cognition, Construction of Knowledge, and Teaching. Synthese: 80, 121-140.

Watts & Pope (1989). Thinking, Learning about Learning: Constructivism in in Physics Education. Physic Education: 24, 326-331.

Yager, R.E. (1991). The Constructivist Learning Model. National Science Teacher Association
(NSTA). [Online]. Tersedia pada: http://www.nsta.org/pubs/tst/reprints/199109yager.html


To get some ideas of TEFL Techniques, try to browse the suggested internet sites by clicking HERE
Don’t forget to Click the audio player for an overview!Good Luck and Thank you

 Tag  konstruktivisme, pembelajaran, dosen konstruktifist,students, techniques, tefl

No comments:

Post a Comment